masukkan script iklan disini
SELAYAR | SUARARAKYAT - Polemik pengambilalihan pengelolaan Pusat Pendaratan Ikan (PPI) Bonehalang oleh Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Kepulauan Selayar memasuki babak baru. Setelah Dinas Kelautan dan Perikanan (KKP) Selayar menyatakan proses itu cacat administrasi, sorotan kini mengarah pada cara kerja organisasi yang dinilai tidak transparan, baik ke publik maupun ke tubuh HNSI sendiri.
Kisruh bermula ketika tim Dinas KKP melakukan pengecekan lapangan pada awal Desember 2025. Mereka meminta HNSI memperlihatkan dokumen mandat pengelolaan yang disebut berasal dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Namun permintaan itu tak pernah direspons dengan dokumen fisik.
“Menurut ketuanya, mereka mendapat mandat dari provinsi. Tapi mandat itu tidak bisa kami verifikasi karena tidak ditunjukkan,” ujar seorang pejabat Dinas KKP. “Secara administrasi, kami anggap cacat.”
Di luar persoalan legalitas, pengambilalihan PPI lewat koperasi yang dibentuk HNSI juga memunculkan pungutan baru: karcis masuk Rp 3.000 dan tarif parkir mobil Rp 5.000. Dasar hukum pungutan itu belum jelas. Ketika dikonfirmasi, Seksi Pengelolaan PPI, Febrianto, hanya memberi jawaban singkat melalui pesan singkat.
“Terkait parkir, itu mengacu pada Perda Prov Sulsel Nomor 1 Tahun 2024,” tulisnya.
Masalah tak berhenti di sektor pemerintahan. Dari dalam organisasi, suara ketidakpuasan mulai terdengar. Seorang pengurus HNSI mengungkapkan bahwa keputusan menyangkut PPI Bonehalang tidak pernah dibahas dalam rapat atau forum internal apa pun.
“Sepertinya hanya dia yang punya HNSI,” kata sumber itu. “Tidak pernah ada koordinasi. Ini seperti hidup di organisasi, bukan menghidupkan organisasi.”
Ia menilai sikap tertutup terkait dokumen mandat justru memperdalam kecurigaan.
“Kalau memang mandatnya ada, tunjukkan. Jangan seperti ijazahnya Jokowi. Wajar kalau orang menganggap ada yang disembunyikan,” ujarnya.
Ketua HNSI Selayar, Abdul Halim Rimamba, memilih sikap berbeda. Ia tetap bersikeras bahwa pengelolaan yang dilakukan HNSI masih dalam tahap uji coba. Ketika diminta memperlihatkan dokumen mandat, ia hanya menjawab bahwa dokumen tersebut “tidak boleh diperlihatkan”.
“Wartawannya masih perlu ikut pelatihan jurnalistik agar setiap tulisannya memenuhi syarat jurnalistik,” kata mantan wartawan senior itu.
Meski demikian, sesuai etika pers, pihak-pihak yang diberitakan tetap diberikan hak jawab.
Hingga kini, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan belum memberikan klarifikasi terkait keberadaan atau keabsahan mandat yang diklaim HNSI. Tanpa penjelasan dari provinsi, polemik ini diperkirakan masih akan bergulir. Pengelolaan aset publik, transparansi administrasi, dan potensi berkurangnya pendapatan daerah Selayar membuat persoalan PPI Bonehalang masih terasa jauh dari selesai.
